![]() |
Penulis: Yakobus A. Balimula (Mahasiswa Program Studi Ilmu Linguistik Program Pascasarjana Universitas Nusa Cendana Kupang) |
MATALINENEWS.COM- Pilkada di Nusa Tenggara Timur (NTT) selalu menjadi perhelatan yang menarik. Bukan hanya karena dinamika politiknya yang kerap kali penuh dengan keseksian tonil, tetapi juga karena ruang publiknya yang tiba-tiba berubah menjadi laboratorium pameran tanda-tanda, simbolsimbol, juga slogan-slogan yang jika kita renungkan lebih dalam, tidak kalah absurd dibandingkan dengan sebuah pertunjukan teater.
Jika kita melihat Pilkada sebagai sebuah ajang komunikasi simbolik, ruang publik NTT menjadi panggung di mana tanda-tanda bertabrkan dan bersaing untuk menarik perhatian. Kandidat- kandidat bukan hanya bersaing dalam adu program, tetapi lebih dalam hal siapa yang paling mahir memainkan permainan simbolik dan makna. Dari baliho raksasa yang memenuhi kota hingga foto-foto kampanye yang memenuhi media masa, semua elemen ini membentuk narasi politik yang kerap kali lebih berfokus pada pencitraan dibandingkan substansi.
Baliho: Tanda Kepemimpinan atau Kehadiran?
Kita mulai dengan baliho, ikon utama kampanye politik di Indonesia, termasuk di NTT. Baliho ini selalu muncul di setiap sudut kota menjelang Pilkada, dan semakin besar baliho, semakin besar pula klaim bahwa calon dengan bangga memajang wajah mereka dengan senyum lebar, seolah-olah mereka baru saja mendengar kabar bahwa semua masalah di NTT akan segera terealisasikan jika mereka terpilih.
Namun, apa yang sebenarnya disampaikan oleh baliho-baliho ini? Jika kita menggunakan pendekatan semiotika, baliho adalah sebuah tanda yang berfungsi untuk menunjukkan kehadiran, bukan kompetensi. Mereka tidak memberikan informasi apa pun tentang visi atau program, melainkan hanya bertindak sebagai pengingat: “Saya ada, saya terlihat, maka pilihlah saya.” Seakan-akan dengan memasang wajah di setiap sudut jalan, calon tersebut secara otomatis layak menjadi pemimpin.
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan menunjukkan wajah. Tapi, apakah baliho sebesar itu benar-benar diperlukan untuk menunjukkan dedikasi kepada rakyat? Baliho-baliho ini lebih sering menjadi pertunjukan kekuatan finansial daripada kepedulian. Sebuah spanduk dengan ukuran raksasa yang terpasang di depan pasar bukanlah simbol kedekatan kepada rakyat, melainkan pengingat bahwa para calon memiliki cukup banyak uang dalam menguasai ruang publik.
Slogan: Kata-Kata yang Kosong Makna
Tidak lengkap rasanya jika membahas baliho tanpa menyinggung slogan-slogan yang menyertainya. Dalam setiap Pilkada, kita selalu disuguhi rangkain kata-kata seperti “Bersama Kita Bisa!” atau “Membangun untuk Semua.” Leksikon-leksikon ini selalu terdengar menawan, tetapi kalau dipikir-pikir lebih dalam, apakah kita benar-benar mengerti apa yang mereka maksudkan?
Slogan dalam Pilkada sering kali lebih mirip mantra daripada pernyataan visi. Slogan-slogan ini dirancang untuk memukau, bukan untuk menjelaskan. Mereka adalah tanda yang kosong, yang artinya hanya akan terbentuk jika kita mengisi sendiri maknanya “Bersama Kita Bisa” misalnya. Bisa apa? Mungkin bisa memperbaiki infrastruktur jalan, mungkin bisa meningkatkan mutu pendidikan, atau mungkin sekedar bisa memasang lebih banyak baliho.
Slogan-slogan ini mencerminkan cara berkomunikasi yang semakin jauh dari substansi. Daripada memberikan Solusi konkret, para calon lebih memilih menggunakan kata-kata yang fleksibel, yang dapat diartikan sesuai kebutuhan audiens. Ini adalah strategi komunikasi yang efektif, karena memungkinkan setiap pemilih untuk menafsirkan kata-kata tersebut sesuai dengan harapan mereka. Tetapi di sisi lain, ini juga menciptakan ilusi bahwa semua masalah bisa diselesaikan tanpa memberikan rencana yang jelas.
Pakian Adat: Simbol Identitas atau Pencitraan?
Salah satu fenomena menarik lainnya dalam Pilkada di NTT adalah penggunan pakaian adat. Tidak lengkap rasanya sebuah kampanye tanpa foto calon yang mengenakan pakaian tradisional, lengkap dengan kain tenun dan ornamen khas daerah. Tentu saja, hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa para calon “dekat dengan budaya lokal.” Tapi, apakah benar demikian?
Jika kita menganalisis penggunaan pakaian adat ini melalui kacamata semiotika, kita akan melihat bahwa pakian adat bukan sekedar kostum; ia adalah tanda identitas. Pakian adat membawa beban makna yang sangat dalam bagi masyarakat NTT. Ketika seorang calon mengenakan pakaian adat, ia seolah-olah ingin mengatakan, “Saya adalah bagian dari kalian. Saya mengerti budaya kalian.”
Namun, dalam praktiknya, pakaian adat sering kali menjadi alat pencitraan yang hanya dipakai pada momen-momen tertentu. Kita jarang melihat calon-calon ini mengenakan pakaian adat di luar masa kampanye. Apakah mereka benar-benar menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam pakaian tersebut, atau hanya menggunakan sebagai alat untuk mendapatkan suara? Ini adalah pertanyaan penting yang harus kita renungkan.
Media Sosial: Panggung Teater Baru
Jika baliho adalah panggung tradisional, maka media sosial adalah panggung teater baru dalam Pilkada. Di sini, para calon berlomba-lomba menampilkan diri sebagai sosok yang ramah, dekat dengan rakyat, dan tentunya, selalu tersenyum. Setiap aktivitas, mulai dari mengunjungi pasar hingga menanam pohon, diabadikan dengan sangat rapi dan professional, seolah-olah kita sedang menonton sebuah film dokumenter yang sudah diedit dengan hati-hati.
Media sosial memberikan ilusi kedekatan yang mungkin tidak ada di dunia nyata. Foto-foto calon yang sedang berjabat tangan dengan warga atau menggendong bayi sering kali terlihat spontan, padahal sudah diatur dengan cermat oleh team kampanye. Inilah salah satu tanda paling menarik dalam Pilkada modern: pencitraan melalui media sosial.
Namun ada ironi besar di sini. Meskipun calon-calon ini ingin terlihat dekat dengan rakyat, kenyatannya jarak antara mereka dan rakyat justru semakin jauh. Media sosial memungkinkan mereka untuk mengontrol narasi dan menampilkan versi diri mereka yang sempurna. Tapi, apa yang terjadi di balik layer? Seberapa banyak momen-momen “kedekatan” itu yang benar-benar tulus, dan seberapa banyak yang hanya sekedar pertunjukan?
Janji Kampanye: Tanda dan Realitas
Salah satu komponen paling penting dalam Pilkada adalah janji kampanye. Setiap calon berusaha untuk meyakinkan pemilih bahwa mereka memiliki solusi untuk setiap masalah, dari pendidikan
hingga infrastruktur. Namun, jika kita melihat janji-janji ini dari perspektif semiotika, mereka sering kali lebih mirip tanda yang menggantung di udara daripada rencana konkret yang bisa dijalankan.
Janji kampanye sering kali tidak lebih dari sekedar kata-kata indah yang dirangkai sedemikian rupa untuk membangkitkan harapan. Mereka adalah tanda-tanda yang memberi kita ilusi bahwa perubahan akan datang, tanpa memberikan jaminan apa pun. Setiap janji yang dilontarkan menjadi seperti sebuah tanda kosong, yang hanya akan memiliki arti jika benar-benar diwujudkan. Namun, sayangnya, sering kali janji-janji ini hanya tinggal tanda tanpa makna.
Pilkada dan Pertarungan Simbol
Pada akhirnya, Pilkada di NTT dan mungkin di seluruh Indonesia lebih mirip sebuah pertarungan simbol daripada pertarungan program. Setiap baliho, slogan, pakaian adat, dan janji kampanye adalah bagian dari permainan tanda yang kompleks. Para calon berlomba-lomba untuk mengendalikan makna, menciptakan ilusi, dan memanipulasi persepsi rakyat.
Dalam ruang publik yang dipenuhi tanda-tanda ini, masyarakat dihadapakan pada tugas berat: membedakan antara tanda yang asli dan yang palsu, antara simbol yang memiliki makna dan yang hanya sekedar pencitraan. Kajian semiotika membantu kita melihat Pilkada dari perspektif yang lebih kritis, mengungkap permainan simbolik yang sering kali terselubung di balik layar kampanye.
Dalam Pilkada kali ini, kita berhati-hati dalam membaca tanda. Sebab, tidak semua tanda yang terlihat itu benar-benar bermakna.
Penulis: Yakobus A. Balimula (Mahasiswa Program Studi Ilmu Linguistik Program Pascasarjana Universitas Nusa Cendana Kupang)