![]() |
Foto Penulis: Abdul Gafur R. Sarabiti (Warga Lembata yang sedang merantau) |
MATALINENEWS.ID- Ungkapan Kedang Bodo Bajong Wato (Kedang bodo dayung batu) dan sampai kucing bertanduk Kedang tak akan mungkin jadi Bupati populer di masa Pilkada periode sebelumnya. Dua istilah itu menjadi mantra politik Eliaser Yentji Sunur (EYS) untuk menyatukan orang Kedang.
Kalimat itu mengemuka kembali di Pilkada Lembata 2024. Pandangan itu sepertinya ada benarnya, karena faktnya yang pernah memimpin Lembata melalui proses Pilkada adalah figur yang berasal dari Ile Ape, Andreas Duli Manuk dan Tionghoa (Cina) berdarah Kedang, Eliaser Yentji Sunur.
Pertanyaan pentingnya adalah apakah di Pilakada Lembata 2024 kemenangan menjadi milik orang Kedang, atau justru kembali digenggam oleh peranakan Cina Kedang, atau justru kembali ke figur Ile Ape, Thomas Ola?
15 ribu pendukung Paslon nomor 4 Kanisius Tuaq dan Nasir Laode (Tunas) yang memadati lapangan ex Harnus Lewoleba pada hari Sabtu 16 November 2024 sepertinya memberikan signal kuat, Kanisius Tuaq memiliki potensi mengahadirkan kucing yang bertanduk atau bahkan menumbuhkan tanduk di kepala botaknya.
Bagaimana tidak, menurut berita lembatanews.id, massa pendukung Paslon Tunas berjumlah 15 ribu jiwa. Sebagai cerminan kekuatan tim, mengahadirkan 15 ribu orang di kota Lewoleba adalah sebuah kekuatan yang luar biasa. Jika melihat dari data Komisi Pemiluhan Umum Kabupaten Lemabat, total pemilih di Lembata mencapai 105.806 jiwa.
Dari total pemilih Lembata, pemilih di Kedang berada di angka 46.520 jiwa. Artinya dominasi terhadap Kedang bisa menjadi gambaran kemenangan Tunas. Tunas telah menunjukkan kekuatannya di Lewoleba. Jika dari 15 ribu yang hadir 10 ribunya dari Kedang dan sisanya dari Nubatukan, Ile Ape dan selatan, maka Paslon Tunas telah memobilisasi 32 persen dari pemilih Kedang dan 15 persen dari keseluruhan jumlah pemilih di Lembata. Fakta ini menjadi gambaran seberapa digdayanya Tunas dalam menghadapi momentum pencoblosan 27 November 2024.
Perlawanan Terhadap Oligarki
Dalam teori ekonomi pancasila, posisi pemerintah seharusnya menjadi fasilitator untuk semua pelaku ekonomi. Sebagai pengontrol agar harga-harga tidak mengikuti mekanisme pasar. Peran harus menjadi fasilitator yang adil untuk keadilan ekonomi, bukan malah memberikan karpet merah bagi para pelaku ekonomi bermodal besar saja.
Di Lembata harga komoditi pertanian tidak ditentukan oleh petani, tapi pengusaha di lingkaran kekuasaan. Semua sektor ekonomi dikuasai oleh beberapa pengusaha yang selama ini berada di lingkaran kekuasaan EYS.
Tengkulak besar di Lembata selalu saja terlibat politik Pilkada sejak periode sebelumnya. Kekuasaan yang diperoleh membuat kelompok pengusaha menguasai rantai ekonomi dari hulu sampai hilir.
Selain menentukan harga, mereka juga mendominasi pengerjaan banyak proyek yang bersumber dari dana pusat (APBN) dan dana daerah (APBD), mendominasi bisnis transportasi laut, darat, bisnis kesehatan, bisnis BBM, perhotelan, dan memiliki aset tanah di hampir seluruh sudut kota Lewoleba.
Situasi tersebut berbanding terbalik dengan mayoritas masyarakat Lembata hidup sebagai masyarakat miskin. Kekuasaan Bupati EYS pada periode sebelumnya telah membuat kelompok pengusaha di lingkarannya semakin kuat dan mengakar. Mereka sudah terlanjur nyaman. Pilkada Lembata 2024 menjadi pertaruhan besar bagi posisi ekonomi politik mereka.
Mereka tidak akan membiarkan kekuasaan jatuh di tangan figur yang mengusung pandangan populis tentang kedaulatan petani dan nelayan. Ini adalah praktik oligarki.
Sebuah praktik ekonomi politik yang mengandalkan persekutuan jahat antara 0,01 persen pengusaha bermodal besar dengan pemerintah yang sudah dimulai sejak periode pemerintahan EYS.
Keterlibatan aktif dan ugal-ugalan komplotan oligark pada politik Pilkada, ini oleh Jeffrey A. Winters disebut sebagai startegi pertahanan kekayaan melalui politik. Mereka, komplotan oligark akan terus menginginkan kekuasaan politik. Bagaimana pun caranya. Bahkan dengan memanipulasi identitas sekalipun.
Penulis: Abdul Gafur R. Sarabiti (Warga Lembata yang sedang merantau)