![]() |
Foto: Profesor Hans Hägerdal (Guru Besar Linnaeus University Swedia, Profesor) |
MATALINENEWS.ID- Persoalan Kawasan Hutan Laob Tumbesi yang mengklaim rumah dan kebun rakyat sebagai tanah milik Negara mendapat perhatian serius dari guru besar luar negeri yaitu Profesor Hans Hägerdal (Guru Besar Linnaeus University Swedia, Profesor)
Profesor Hans Hägerdal merupakan seorang peneliti senior tentang Sejarah di Asia Tenggara dan terutama di Nusa Tenggara Timur.
Ketika dihubungi melalui e-mail awal maret 2025 (lalu) Prof. Hägerdal menyayangkan peristiwa ini, “Persoalan ini benar-benar serius” kata Profesor yang telah menulis puluhan buku dan puluhan artikel ilmiah tentang Sejarah di Nusa Tenggara ini. Ia membeberkan terkait pola permukiman kehidupan masyarakat Timor sebagai Usufruct (bahwa hak milik adalah milik orang yang mengolah sebidang tanah) dan semuanya telah tertata rapih menurut hukum adat dari masing-masing kerajaan di Timor.
“Kejadian seperti itu sayangnya saat ini umum terjadi ketika penggunaan lahan adat berbenturan dengan inisiatif birokrasi modern, terutama ketika para pejabat birokrasi keliru dan salah menafsirkan ulang dokumen kolonial tertentu” sesal Profesor Hans Hägerdal.
Ia berharap masyarakat adat Amanuban dapat berhasil melawan klaim dari para pejabat birokrasi tersebut.
“Saya harap anda semua akan berhasil dalam melawan klaim Negara." ujar Profesor Hans Hägerdal.
Wemrids M. Nope selaku Ketua Perkumpulan Masyarakat Amanuban didampingi oleh Sekretaris Pina Ope Nope di kota Niki-Niki melalui media ini sangat menyesalkan ketidak pedulian para pejabat Pemerintah Daerah TTS.
“Sepertinya mereka anggap ini masalah sepele, sampai hari ini kami sudah menunggu janji DPRD Kabupaten TTS untuk diadakan rapat terkait penyusunan Perda Masyarakat Hukum Adat Amanuban tapi tidak pernah ada.” Ungkap Nope dengan nada marah Via WhatsApp Rabu (26/03).
Ia dengan tegas menyatakan rakyat kecil tidak boleh dikorbankan atau bahkan didesak ruang hidupnya, “Masyarakat TTS sudah miskin mau dimiskinkan lagi, TTS harus bisa bangkit terutama dari upaya penghilangan hak atas tanah.
Sekretaris Tim Penyusun Perda Sonaf Amanuban, Eximus Tse dari Desa Nusa Amanuban Barat menyesalkan janji pimpinan DPRD untuk mengirimkan draft, membutuk tim dan FGD, janji dan badai birokrasi tidak pernah berlalu. Walaupun kami telah menyampaikan usulan sesuai dengan saran dari Ombudsman Republik Indonesia maupun Kementrian Kehutanan Republik Indonesia untuk segera diterbitkan Perda Masyarakat Hukum Adat Amanuban namun dari pejabat di Republik TTS masih adem saja. Sedih”
Selain itu, salah satu tokoh Meo Amanuban, Eknasus Tauho yang juga adalah Pejabat di Bandar Udara Gewayantana Larantuka menyatakan bahwa Pemda TTS tidak boleh ragu untuk menerbitkan Perda Masyarakat Hukum Adat Amanuban, di Ternate sudah dan di banyak tempat sudah ada Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat jadi sudah seharusnya di TTS, khususnya di Amanuban harus ada sebab kami masih mengakui eksistensi hak kerajaan Amanuban di tengah-tengah masyarakat.
Munir saetban sebagai Tua Adat desa Naile'u nyatakan sikap menolak. "Kami para Tua-tua adat dari desa Naile'u Kecamatan Kie menolak penetapan tanah-tanah kami menjadi kawasan Hutan Produksi Tetap Laob-Tumbesi adapun alasan-alasan sebagai berikut:
1. Bahwa tanah-tanah kami adalah tanah Adat bukan tanah milik Penjajah Belanda
2. Bahwa dasar klaim Register Tanah Kehutanan dari tahun 1920 sebagai tanah Belanda adalah sebuah kekeliruan besar sebab itu adalah Hutan Adat Kaizel (Kaisar) Amanuban yang ditetapkan oleh Usi Keizel Amanuban Pa'E (yang biasa kami sebut Usi Pina) yang memerintah sebagai Keizel Amanuban sejak tahun 1920-1959.
3. Bahwa kami Keluarga besar Saetban sebagai perpanjangan tangan Keizel Amanuban dengan jabatan Anoomnes/ Ana koa metan sebagai penjaga maupun sebagai pejabat pembagi tanah sesuai hukum Adat Amanuban sejak ratusan tahun lalu sama sekali tidak menyetujui upaya Pemerintah melalui Kementrian Kehutanan.
4. Kami juga menolak pengukuran dari pihak Badan Pertanahan Nasional di desa Naile'u sampai ada keputusan yang jelas mengenai polemik Penetapan Batas Kawasan Hutan Laob Tumbesi
Penulis: Jimra Tino