Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Indeks Berita

Pendidikan Mahal, Masa Depan Suram: Mahasiswa Kupang Lawan Sistem yang Tak Adil

Minggu, 16 Maret 2025 | Maret 16, 2025 WIB Last Updated 2025-03-16T08:50:13Z

fmn_cabang_kupang
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kupang yang tergabung dalam FMN Cabang Kupang mengadakan PDO Akbar sebagai bentuk perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan

MATALINENEWS.ID
– Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar rakyat kini semakin menjauh dari jangkauan. Biaya kuliah yang terus melonjak, akses yang semakin sempit, serta ketidakpastian masa depan bagi lulusan menjadi bukti nyata bahwa sistem pendidikan lebih berpihak pada pasar dibandingkan rakyat.


Fenomena ini tak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga dirasakan oleh mahasiswa di Kupang. Mahalnya biaya pendidikan dan minimnya kesempatan bagi mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah menambah kesulitan dalam mendapatkan pendidikan tinggi yang layak. Dalam konteks ini, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) yang tergabung dalam Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang mengadakan Pendidikan Dasar Organisasi (PDO) Akbar sebagai bentuk perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan.


Acara yang digelar pada Sabtu (15/3) ini dihadiri oleh 52 peserta, jumlah terbesar dalam sejarah PDO sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa kesadaran mahasiswa terhadap ketimpangan pendidikan semakin meningkat. Diskusi ini menjadi ruang bagi mahasiswa untuk memahami lebih dalam bagaimana sistem pendidikan saat ini bekerja dan mengapa pendidikan yang mahal bukan hanya sekadar dampak dari kebijakan universitas, tetapi bagian dari sistem yang lebih besar yang mengutamakan keuntungan dibandingkan hak rakyat.


Pendidikan: Hak Rakyat atau Alat Bisnis?


FMN menegaskan bahwa pendidikan telah kehilangan jati dirinya sebagai alat mencerdaskan bangsa. Alih-alih menjadi sarana bagi rakyat untuk mendapatkan ilmu dan meningkatkan kesejahteraan, pendidikan kini berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan.


Ketua FMN Ranting UMK, Tiara Mau, menyoroti bagaimana sistem pendidikan yang semakin mahal bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari sistem yang dirancang untuk membatasi akses rakyat terhadap pendidikan berkualitas.


"Dulu, pendidikan dibangun untuk mencerdaskan rakyat. Sekarang? Pendidikan justru dijadikan alat bisnis. Biaya semakin mahal, kualitas semakin menurun, dan orientasinya bukan lagi membangun kesadaran kritis, tapi sekadar mencetak tenaga kerja murah bagi industri!" tegas Tiara.


Mahasiswa semakin terjebak dalam sistem yang menjadikan mereka sebagai pelanggan, bukan peserta didik. Universitas berlomba-lomba menaikkan biaya dengan alasan peningkatan fasilitas dan kualitas pendidikan, namun realitasnya, banyak mahasiswa yang merasa tidak mendapatkan manfaat yang sepadan dengan biaya yang mereka keluarkan.


Tak hanya biaya kuliah yang membengkak, tetapi juga berbagai pungutan lain yang harus ditanggung mahasiswa, seperti biaya praktik, biaya ujian, hingga pungutan liar yang sering tidak transparan. Sementara itu, banyak dosen yang masih menerima honor rendah dan fasilitas kampus yang tidak memadai. Ini menandakan bahwa dana yang dikelola oleh institusi pendidikan sering kali tidak digunakan sepenuhnya untuk kepentingan mahasiswa, tetapi lebih kepada memenuhi kebutuhan birokrasi pendidikan yang semakin korporatis.


Jeratan Pendidikan dan Ketidakpastian Kerja


Masalah pendidikan tidak bisa dipisahkan dari persoalan ketenagakerjaan. Mahasiswa dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa biaya pendidikan yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan setelah lulus.


"Kita dipaksa membayar mahal untuk kuliah, tapi setelah lulus tetap harus berjuang mati-matian mencari kerja dengan upah yang tak layak. Kalau begini terus, kapan kita bisa keluar dari lingkaran ini?" ujar Tiara dalam diskusi PDO.


Sistem pendidikan yang ada saat ini tidak dirancang untuk mencetak lulusan yang siap membangun perubahan bagi masyarakat, tetapi lebih kepada mencetak tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri. Dalam praktiknya, banyak lulusan yang akhirnya bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka atau bahkan menjadi bagian dari angkatan kerja yang menganggur.


Dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit, mahasiswa yang lulus dengan pinjaman pendidikan atau utang dari keluarganya harus menghadapi beban ganda: mencari pekerjaan yang layak sambil melunasi biaya pendidikan yang sudah terlanjur mahal. Hal ini semakin memperdalam kesenjangan sosial, di mana hanya mereka yang berasal dari keluarga mampu yang bisa mendapatkan kesempatan lebih baik setelah lulus.


Dari Kesadaran Menuju Perlawanan


PDO Akbar yang diselenggarakan oleh FMN tidak hanya sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi juga sebagai langkah awal bagi mahasiswa untuk membangun kesadaran kolektif dalam melawan sistem pendidikan yang tidak adil. Diskusi yang berlangsung di acara ini bukan hanya membahas masalah yang ada, tetapi juga bagaimana mahasiswa dapat mengambil langkah konkret untuk melawan komersialisasi pendidikan.


FMN telah menyiapkan berbagai tahapan pendidikan lanjutan untuk memperkuat pemahaman dan membangun gerakan perlawanan yang lebih besar. Di antaranya Pendidikan Menengah Organisasi (PMO), Pendidikan Lanjutan Organisasi (PLO), hingga kursus khusus dan pendidikan perempuan.


"Mau sampai kapan kita terus menjadi korban? Kesadaran saja tidak cukup. Kita harus bergerak, bersatu, dan berjuang! Karena sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani melawan!" tutup Tiara dengan penuh semangat.


Melawan Komersialisasi, Menuntut Pendidikan Gratis dan Berkualitas


Mahasiswa Kupang yang tergabung dalam FMN tidak hanya sekadar mengkritik, tetapi juga membawa gagasan dan tuntutan yang jelas. Mereka menginginkan sistem pendidikan yang berbasis pada hak rakyat, bukan kepentingan pasar. Salah satu tuntutan utama mereka adalah pendidikan gratis dan berkualitas yang bisa diakses oleh seluruh rakyat tanpa diskriminasi ekonomi.


Meskipun tuntutan ini sering kali dianggap utopis oleh pemerintah dan institusi pendidikan, faktanya banyak negara yang telah berhasil menerapkan pendidikan gratis atau setidaknya membatasi biaya pendidikan agar tetap terjangkau bagi semua kalangan. Pendidikan seharusnya menjadi investasi negara untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan mandiri, bukan alat untuk membebankan utang kepada generasi muda.


Selain itu, mahasiswa juga menuntut transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan. Biaya pendidikan yang tinggi harus diimbangi dengan kualitas yang jelas dan penggunaan dana yang transparan. Mahasiswa berhak mengetahui ke mana uang yang mereka bayarkan digunakan dan memastikan bahwa dana tersebut benar-benar dialokasikan untuk kepentingan akademik, bukan sekadar memenuhi kebutuhan birokrasi yang tidak efisien.


Perjuangan Belum Berakhir


PDO Akbar ini menjadi bukti bahwa semakin banyak mahasiswa yang sadar dan siap berjuang melawan sistem pendidikan yang tidak adil. Kesadaran adalah langkah awal, tetapi perjuangan membutuhkan konsistensi dan keberanian untuk melawan sistem yang telah mengakar.


Mahasiswa Kupang kini bukan lagi sekadar penerima kebijakan, tetapi mulai menjadi aktor perubahan yang siap memperjuangkan pendidikan sebagai hak rakyat, bukan barang dagangan. Mereka menyadari bahwa tanpa perjuangan, pendidikan yang layak hanya akan menjadi hak istimewa segelintir orang, sementara mayoritas rakyat terus terpinggirkan.


FMN berjanji akan terus berada di garis depan perjuangan ini. Mereka percaya bahwa perubahan hanya akan terjadi jika mahasiswa bersatu dan berani melawan. Dan seperti yang telah diajarkan sejarah, setiap perubahan besar selalu dimulai dari sekelompok kecil orang yang berani berkata, "Cukup sudah!"


Penulis: Djohanes Julius Bentah